Abstrak |
Kejahatan dunia maya (cybercrime) berupa phishing di Indonesia ini cukup banyak korbannya, namun kebanyakan kasus korban phishing tidak menyadari bahwa dirinya terkena jebakan phishing sehingga perlu adanya perlindungan hukum untuk membantu korban phishing. Rumusan masalah penelitian ini yaitu (1) bagaimana perlindungan hukum dalam membantu korban phising?; dan (2) bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku phising di Indonesia?. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yuridis sosiologis. Sumber data penelitian berupa data primer dan data sekunder (bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier). Teknik pengambilan data menggunakan wawancara, dan studi pustaka. Sebelum melakukan analisis, peneliti melakukan validasi data dengan teknik triangulasi yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa (1) perlindungan hukum dalam membantu korban phising terdiri dari perlindungan represif dan pemberian hak hak korban. Perlindungan represif diberikan ketika ada korban phising melalui putusan pengadilan berupa pidana penjara dan denda, sedangkan perlindungan hukum terhadap pemberian hak-hak korban atas kerugian material berupa pemberian kompensasi melalui pengajuan kepada LPSK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014. Akan tetapi, kasus Putusan Nomor: 958/Pid.Sus/2020/PNPbr; Putusan Nomor 73/Pid.Sus/2021/PN Nga; dan Putusan Nomor 845/Pid.Sus/2020/PT SBY, sama sekali tidak ada korban yang memperoleh perlindungan berupa ganti kerugian atas kerugiannya. (2) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku phising di Indonesia yaitu pidana penjara dan denda dengan didakwa Pasal 32 ayat (2) jo Pasal 48 ayat (2) UU ITE yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. Selain itu, pelaku juga dapat didakwa dengan Pasal 51 ayat (1) karena membuat website tiruan (scampage) dan Pasal 30 ayat (2) karena menyebarkan vitus komputer. Pelaku Phising juga dapat didakwa Pasal 67 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 22 tentang Perlindungan Data Pribadi karena melakukan kejahatan pencurian data pribadi. (3) Kebijakan perlindungan hukum bagi korban hising di Indonesia pada masa mendatang yaitu merumuskan kebijakan Pembentukan Badan Independen yang berwenang dalam Otoritas Pelaksana Perlindungan Data Pribadi dan merumuskan pula kebijakan pengelolaan data dan informasi pribadi melalui Indonesian Data Protection System (IDPS) sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus-kasus cybercrimer termasuk phising. Simpulan penelitian yaitu korban phising di Indonesia belum mendapatkan perlindugan hukum secara refresif karena korban enggan melapor kepada pihak kepolisian dan korban belum mendapatkan hak-hak berupa kompensasi/ ganti kerugian. Saran penelitian ini yaitu Pemerintah hendaknya membuat satu aturan khusus di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 mengenai tindak pidana Cyber crime Phishing karena selama ini belum ada aturan yang mengatur secara jelas dan spesifik mengenai tindak pidana Cyber Crime Phishing. Selain itu, Kepolisian perlu bekerjasama dengan pihak Pemerintah Desa dengan membentuk Pos Dumas (Pos Pengaduan Masyarakat) sehingga masyarakat yang menjadi korban phising mendapat pendampingan dari pemerintah desa dan tidak takut untuk melapor atas kasusnya ataupun mengambil upaya hukum guna mendapatkan ganti rugi.
|